Cerita SIlat Naga Bumi - Jurus Tanpa Bentuk

Cerita Silat Naga Bumi - Jurus Tanpa Bentuk

Selamat datang para pendekar yang budiman di lapak cayhe. Kali ini saya uploadkan sebuah cerita silat karya anak negeri yang cukup populer dan fenomenal, bahkan telah dijadikan cerita bersambung di salah satu koran nasional, yaitu Cerita Silat Naga Bumi.
Berikut ini sedikit informasi awal terlebih dahulu.
Author : Seno Gumira Ajidarma
Judul : Naga Bumi - Jurus Tanpa Bentuk
Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta
Sinopsis Cerita:
Pulau Jawa tahun 871.
Pendekar tanpa nama yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan sudah 100 tahun umurnya.
Pendekar tua itu sudah lupa, siapa saja lawan yang pernah terbunuh olehnya, dan barangkali kini murid atau kerabat lawan-lawannya datang menuntut pembalasan dendam. Bahkan negara menawarkan hadiah besar untuk kematiannya. Pendekar tua itu tahu ajalnya sudah dekat, tetapi ia tidak ingin mati sebelum menuliskan riwayat hidupnya, sebagai cara membongkar rahasia sejarah. Nagabumi, sebuah cerita tempat orang-orang awam menghayati dunia persilatan sebagai dunia dongeng, tentang para pendekar yang telah menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari, karena tujuan hidupnya untuk menggapai wibawa naga. Nagabumi adalah drama di antara pendekar-pendekar, pertarungan jurus-jurus maut, yang diwarnai intrik politik kekuasaan, maupun pergulatan pikiran-pikiran besar, dari Nagasena sampai Nagarjuna, dengan selingan kisah asmara mendebarkan, dalam latar kebudayaan dunia abad VIII-IX.

Link download (pdf)

Cuplikan dari halaman favorit saya yang berisi wejangan dan pelajaran hidup dari sang Budha:

puisi Li Bai yang ditulis ketika meninggalkan desa kecil Wang Lun di Anhwei:
perahuku akan berangkat ketika terdengar seketika langkah kaki dan nyanyian; di perairan Bunga Persik; danau dalam, tetapi tidak sedalam cintaku kepada Wang Lun

Tidakkah itu memang merupakan nasib pengembara? Mencintai suatu tetapi harus meninggalkannya pula? Namun bagaimana jika ia jatuh cinta kepada seseorang, mestikah ia melupakan saja cinta itu dan meneruskan pengembaraannya, ataukah jika memang mencintainya maka tentulah ia berhenti mengembara, menikah, beranak pinak, dan berbahagia? Bisakah seorang pengembara mendamaikan dua cinta, antara kecintaan untuk mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan kesetiaan untuk mengabdi demi cinta untuk selama-lamanya?
NAMUN kadang-kadang sungai yang kami susuri memasuki wilayah yang bukan saja terjal tetapi bahkan nyaris tidak menyediakan ruang bagi kuda melangkah di sepanjang tepiannya, karena mendadak berubah menjadi dinding-dinding batu menjulang. Kami akan tetap menyusuri tepiannya jika masih terdapat batu-batu besar atau jalan setapak tempat kuda bisa melangkah, tetapi tidak jarang itu pun tidak dimungkinkan. Lagipula jika sungai berada di antara dinding batu seperti itu, biasanya itu menjadi deras, dan karena kami berjalan melawan arah aliran sungai maka akan sangat berbahaya untuk menyusuri dinding, dengan batu-batu besar di bawahnya yang sudah berada di dalam air. Dalam keadaan seperti itu, kami akan memilih jalan ke samping, meninggalkan tepi sungai dan menempuh jalan mendaki. Di atas tebing akan kami dengar arus sungai itu menyebabkan suara bergemuruh. Kadang-kadang kami diam sejenak di atas tebing sebelum meneruskan perjalanan, tetapi pernah juga kami terpaksa bermalam di atas tebing seperti itu, karena hari kemudian seperti menggelap begitu saja
dengan tiba-tiba. Bila malam cerah dan langit penuh bintang, kami bertiga akan memandangnya sambil merebahkan diri di atas dataran setelah usai makan malam, yakni memakan daging asap sangat asin yang dari hari ke hari makin alot saja rasanya. Yan Zi dan Elang Merah selalu berusaha menghitung jumlah bintang-bintang itu, tetapi yang selalu kupastikan takpernah berhasil karena salah satu dari mereka akan segera memeluk dan bersambut pelukan pula dari yang lain. Demikianlah akhirnya sebelum tiba di pondok ini, kami telah menjumpai beberapa kuil Buddha, bahkan satu di antaranya termasuk kuil besar dengan murid-murid yang banyak, tetapi minat kami agak kurang untuk tinggal agak lebih lama, karena yang ingin kami pelajari dari kuil-kuil itu bukanlah agama demi agama saja. Melainkan agama sebagai tempat terdapatnya ilmu-ilmu kebijaksanaan, karena memang bukan kehidupan setelah mati yang kami pedulikan, melainkan kehidupan di dunia ini yang berada di depan mata dan penuh dengan pertanyaan yang menuntut bahkan menantang jawaban. Kami menemukannya setelah bertanya-tanya di sebuah kedai, ketika selalu saja hanya menemukan kuil yang mengajarkan agama hanya demi agama sahaja. ''Oh, mungkin bukan di kuil tempatnya, tapi di pondok orang tua yang agak gila itu, di dekat hutan bambu,'' ujar seseorang di dalam kedai. ''Kadang-kadang orang datang untuk berobat atau minta diramal nasibnya ke sana,'' kata seseorang yang lain lagi, sambil menenggak arak beras. Lantas mereka semua tertawa terbahak-bahak, dengan agak setengah menghina. Kami bertiga selintas saling berpandangan, apakah mereka tergolong orang bodoh yang tidak tahu dirinya bodoh? Kami tahu, di kedai kita mesti dapat menafsirkan, bahwa sebagian besar yang berada di kedai adalah orang-orang awam, dan ucapan orang awam tidak bisa dipegang seperti apa adanya, karena penilaian dalam ucapan itu tentunya mencerminkan keawamannya. Jadi jika ia mengatakan orang tua yang kadang-kadang dikunjungi orang itu agak gila, itu tentulah penilaian yang tidak dapat dianggap berdasarkan pemahaman yang agak sedikit seksama. Maka kami pun justru mencarinya. Kami harus menerabas semak dan ilalang sebelum menambatkan kuda dan bergabung dengan orang-orang yang tiba lebih dulu. Mereka duduk begitu saja di
atas rerumputan, menghadapi seorang tua di atas teras bambu sebuah pondok bambu juga, yang penuh dengan peralatan menangkap ikan, mulai dari bubu, pancing, sampai jala. Juga caping dan berbagai peralatan untuk memotong kayu. Tampaknya ia tinggal sendirian dan orang-orang tampak mendengarkan. Kami menyelipkan diri di antara orang-orang pada baris paling belakang. Kudengar nyanyian hutan bambu di belakang rumah itu, ketika orang tua itu rupanya sedang memperbincangkan perihal pertanyaan Raja Milinda kepada Nagasena. Kukenal dari masa kecilku, ketika pasangan pendekar yang mengasuhku mengundang para pemikir tentang filsafat dan agama bertandang ke pondok kami untuk berbincang sepanjang hari, bahwa orang tua itu sedang memperbincangkan perkara:
Bagaimana Caranya Kita Mengetahui Bahwa Buddha Pernah Ada?
''Kini Raja Milinda mendekati Yang Mulia Nagasena. Setelah menjadi dekat, ia membungkuk hormat dan duduk di satu sisi
DUDUK di satu sisi itu, Raja Milinda yang berminat mengetahui, berminat mendengar, berminat mendalami, berminat melihat Cahaya Pengetahuan, berminat memecah Ketidaktahuan sampai hancur, berminat membuat Cahaya Pengetahuan bangkit, berminat meremukkan Kegelapan dari Ketidaktahuan, menghimpun keberanian dan kekuatan dan kesadaran dan kecerdasan, mengatakan ini kepada Yang Mulia Nagasena: '''Yang Mulia Nagasena...tetapi apakah Tuan pernah melihat Buddha?' '''Tentu tidak, Raja Besar.'' '''Tetapi apakah guru-guru Tuan pernah melihat Buddha?' '''Tentu tidak, Raja Besar.'' '''Yang Mulia Nagasena, Tuan berkata Tuan tidak pernah melihat Buddha, dan Tuan berkata guru-guru Tuan juga tidak pernah melihat Buddha. Baiklah, Yang Mulia Nagasena, Buddha tidak pernah ada! Tiada apa pun di sini yang menunjukkan bahwa Buddha pernah ada!'' ''Kini giliran Nagasena yang bertanya:
'''Namun, Raja Besar, apakah Raja-raja ada sejak dahulu kala...mereka yang menjadi pendahulu Paduka, dalam garis Raja-raja?'' '''Ya, Yang Mulia Tuan, mengapa diragukan? Raja-raja ada sejak dulu kala...mereka yang menjadi pendahuluku dalam garis Raja-raja.'' '''Apakah Paduka, Raja Besar, pernah melihat Raja-raja dahulu kala?'' '''Tentu tidak, Yang Mulia Tuan.' '''Namun, Raja Besar, apakah para guru yang memberi tahu Paduka...para pendeta istana, panglima balatentara, hakim, menteri...apakah mereka pernah melihat raja-raja dahulu kala?'' '''Tentu tidak, Yang Mulia Tuan.' '''Namun, Raja Besar, jika Paduka belum pernah melihat Raja-raja dahulu kala, dan jika, seperti kata Paduka, para guru juga tidak pernah melihat Raja-raja dahulu kala itu --di manakah Raja-raja dahulu kala itu?-- di sini tidak ada apa pun yang memperlihatkan bahwa Raja-raja dahulu kala itu pernah ada!'' ''Maka berkatalah pula Raja Milinda: ''Terlihat, Yang Mulia Nagasena, tanda-tanda kebesaran yang disematkan oleh Raja-raja dahulu kala, sebagai saksi, payung putih, mahkota, sandal, kipas ekor yak, pedang dengan batu permata, dan kereta yang sangat mahalnya. Dengan ini, kita akan tahu, dan percaya: 'Raja-raja ada sejak dahulu kala.' ''Maka berkatalah pula Sang Nagasena: '''Seperti itulah, Raja Besar, kita juga, dengan rujukan kepada Keesaan Agung, menjadi tahu dan percaya. Terdapat suatu alasan, mengapa kita dapat mengetahui dan percaya bahwa Keesaan Agung itu ada. Apa alasannya? Di sana terdapat, Raja Besar, tanda-tanda yang digunakan oleh Keesaan Agung, Sang Buddha; dengan begini dunia manusia dan dunia dewa mengetahui dan percaya: Keesaan Agung ada. Inilah, Raja Besar, alasannya, penyebabnya, jalannya, pendekatan atas kesimpulan, yang karenanya menjadi diketahui: Keesaan Agung ada.'' Orang tua itu lantas mengutip pula ujaran Nagasena:
seperti baginya yang menyeberangkan orang banyak ke Samudera Kelahiran Kembali, yang dengan menghancurkan Pokok Keberadaan
mencapai Nibbana dengan simpulan yang akan diketahui: ''Manusia Terbaik ada!''
''Raja Milinda kemudian berkata: 'Yang Mulia Nagasena, berilah contohnya!''' Namun sampai di sini, orang tua itu berhenti. Orang-orang menunggu. Bagi banyak orang yang merasa lebih baik mendengarkan cerita seorang pembicara daripada membaca sendiri naskah-naskah Buddha, mendapatkan suatu contoh gambaran dari sesuatu yang sebetulnya tidak tergambarkan adalah penting. Namun orang tua itu masih diam, bahkan menundukkan kepala. Orang-orang masih menunggu. Aku ikut menundukkan kepala, begitu juga Elang Merah dan Yan Zi. Kami bertiga sebetulnya mendengarkan, karena kami bertiga mengerti bahwa orang tua itu tidak akan begitu saja berhenti mendadak di tengah cerita.
TENTULAH menjadi penting bagi kami, yang kini melakukan perjalanan di Negeri Atap Langit dengan maksud dan tujuan tertentu, untuk mengetahui serba sedikit pihak mana sajakah yang sedang bermusuhan tersebut. Para penyusup biasanya adalah orang-orang bayaran, dan apabila cukup banyak tenaga dan dana dikerahkan untuk menghabisi nyawa seseorang di tempat terpencil, tidaklah terlalu keliru untuk mengira bahwasanya ia seseorang yang bukan sekadar cukup penting, tetapi juga dianggap cukup berbahaya sehingga hidupnya harus diakhiri. Yan Zi dan Elang Merah berkelebat menghilang, sementara kudengar seseorang berkata kepada orang tua itu. ”Ceritakanlah kepada kami tentang tujuh kedai Buddha,” katanya. Maka orang tua itu pun menjawab. ”Memang itulah lanjutan cerita yang akan kusampaikan sekarang ini.” Lantas ia pun menyambung ceritanya, ketika Nagasena menjelaskan perihal tujuh kedai Buddha tersebut. ”Kemudian, raja besar, di dalam Kota Kebenaran, di Jalan Dhyana Terkhusyuk, Tujuh Kedai terbuka, dan nama-namanya adalah Kedai Bunga, Kedai Pewangi, Kedai Buah, Kedai Obat, Kedai Jamu, Kedai Sesajian, Kedai Perhiasan, dan Kedai Umum.”
”Yang Mulia Nagasena, apakah Kedai Bunga dari Keesaan Agung, Sang Buddha, itu sendiri?” ””Terdapat di sana, raja besar, dinyatakan oleh Keesaan Agung, sebagaimana seharusnya tertatacarakan dan tergolong-golongkan seperti berikut.” 1) Ketika orang tua itu menjelaskan, aku teringat kembali, betapa keberadaan Buddha itu sebetulnya sedang diperbincangkan oleh nama yang sebetulnya juga belum tentu ada. Ya, Nagasena hanyalah suatu nama khayalan, dan perbincangannya dengan Raja Milinda atau Menander, Raja Yunani dari Baktria2) sebetulnya juga merupakan suatu perbincangan yang hanya dibayangkan sahaja. Kitab Milindapanha atau Pertanyaan-pertanyaan Milinda yang kutipannya sedang dikisahkan orang tua itu, sebetulnya merupakan naskah Pali yang tidak diwajibkan, meski isi perbincangan adalah penampilan ajaran Buddha tentang ketidak-adaan jiwa dan Nibbana atau Nirvana itu penting bagi siapapun yang berminat terhadap filsafat Buddha, sehingga memang tetap selalu menjadi rujukan. Seperti pernah kuceritakan dalam bentuk lain, Milinda atau Menander ini adalah seorang raja yang merupakan pelajar yang berpengetahuan, pakar perdebatan, yang ingin memahami ajaran Buddha, tetapi tidak terdapat satu pun manusia yang didekatinya bisa membantu. Suatu ketika dalam suatu kesempatan ia memburu bhiksu Nagasena, yang sedang mengemis berkeliling, dan mulai bertanya-tanya kepadanya. Raja Milinda kemudian ternyata sangat terkesan dengan pengetahuan Nagasena, lantas mengatur pertemuan di Wihara Sankheyya di Sagal, tempat Nagasena menginap. Raja tiba beserta 500 pengiring dan perbincangan dimulai. Atas permintaan raja perbincangan disimpulkan di istananya, meski Nagasena mensyaratkannya mesti secara keilmuan, yang disebut Panditavada dan bukan kebangsawanan atau Rajavada. Masalah kesukmaan paling dalam yang terlawankan kepada raja, adalah ketidakmampuannya untuk memahami bagaimana Buddha dapat percaya kepada kelahiran kembali, tanpa pada saat yang sama percaya juga kepada kelahiran kembali diri sendiri. Sang Nagasena dengan cerdik, pada setiap perdebatan tidak hanya mengatasi keraguan sang raja, tetapi membuatnya beserta seluruh pengikutnya memeluk Buddha. Sebagai tanda terimakasihnya pula, Menander membangun sebuah kuil, Milindavihara, dan
menyerahkannya kepada Nagasena. Demikianlah orang tua yang hanya tampak seperti pemukim tepi sungai yang hidup dari mencari ikan ini, seperti berperan sebagai bhiksu-pengemis Nagasena, ketika menjelaskan perihal Tujuh Kedai Buddha itu: ”... Gagasan-gagasan tentang Kesementaraan, Ketidaknyataan, Ketidakmurnian, Kerudinan, Penolakan, Ketanpagairahan, Kebergencatan; Gagasan tentang Ketidakpuasan dengan segala dan semuanya yang ada di dunia; Gagasan tentang Kesementaraan dari Unsur-unsur Pokok Keberadaan; Dhyana pada Keluar-Masuk Pernapasan; Gagasan tentang Mayat: gembung, ungu, membusuk, terbelah, tergerogoti, terpencar, tergencet dan tersebar, berdarah, berulat, kelihatan tulangnya; Gagasan tentang Pertemanan, Belas Kasih, Kegembiraan, Pengabaian; Dhyana atas Kematian; Dhyana atas Tubuh. Ini, raja besar, adalah Sasaran Dhyana, dengan cermat tertatacarakan dan tergolong-golongkan, dinyatakan oleh Keesaan Agung, Sang Buddha. ”Dengan rujukan kepada ini semua, siapapun yang berminat untuk dibebaskan dari Masa Tua dan Kematian, memilih salah satu dari Sasaran Dhyana ini, dan dengan menggunakan Sasaran Dhyana mendapatkan pembebasan dari Nafsu Jahat, Kehendak Buruk, Khayalan, Kebanggaan, Pandangan Salah; menyeberangi Samudera Lingkaran Keberadaan; membendung Arus Idaman; membersihkan dirinya sendiri dari Noda Lipat Tiga; menghancurkan segenap Peracunan; memasuki Yang Terbaik dari Kota-kota, Kota Nibbana, yang bebas dari noda, bebas dari debu, putih bersih, bebas dari Kelahiran, bebas dari Masa Tua, bebas dari Kematian, yang adalah Kebahagiaan, Ketenangan, Kebebasan dari Bahayaómelalui kependetaan mencapai pelepasan hati
Inilah, raja besar, yang dimaksudkan dengan Kedai Bunga Sang Buddha. dengan Kamma sebagai harganya naiklah ke kedai; belilah Sasaran Dhyana; jadi mendapat pembebasan melalui Pembebasan 5) ”Namun raja itu pun masih bertanya pula, ëYang Mulia Nagasena, apakah Kedai Wewangian dari Keesaan Agung, Sang Buddha itu sendiri?”
Maka Nagasena pun menjawab: ”Di sanalah terdapat, raja besar, dinyatakan oleh Keesaan Agung, kepastian Aturan, dengan cermat tertatacarakan dan terpilah-pilah; dan dilumuri perminyakan suci Wewangian dari Aturan, putera-putera Keesaan Agung, uap dan wewangian dengan Wewangian dari Aturan dunia manusia dan Dunia Dewa-dewa. Mereka hembuskan keharuman, mereka hembuskan melampaui keharuman yang manis, dalam arah-arah utama, dalam arah-arah antara, bersama angin, melawan angin; mereka tetap meliputinya. ”Kini, apakah Aturan ini tertatacarakan dan terpilah-pilah dengan cermat? Aturan tentang Tempat Perlindungan, Lima Aturan, Delapan Aturan, Sepuluh Aturan, Aturan-aturan Pengendalian yang terdapat dalam Kitab Pengakuan dan termasuk di dalam Lima Pembacaan itu. ”Ini, raja besar, adalah yang dimaksud dengan Kedai Wewangian Sang Buddha. Lebih lagi, raja besar, ini telah dinyatakan oleh Keesaan Agung, dewa segala dewa:” wewangian bunga-bunga takmerebak melawan angin, atau takjuga cendana, atau dari bunga-bunga Tagara dan Malikka; tetapi wewangian dari keyakinan merebak melawan angin; dalam segala arah manusia yang baik menghembuskan keharuman.
di atas dan di balik segala jenis wewangian, apakah itu cendana atau teratai atau dari bunga-bunga Tagara dan Vassiki, wewangian dari kebajikan itu unggul kelemahan adalah wewangian ini, wewangian dari Tagara dan cendana; wewangian dari keluhuran adalah yang terbaik dihembuskan kepada dewa-dewa 6)

Demikianlah Cerita Silat Naga Bumi - Jurus Tanpa Bentuk yang bisa saya ulaskan untuk anda. Selamat menikmati. Terima kasih sudah berkenan mampir dan membaca. Salam.

1 Response to "Cerita SIlat Naga Bumi - Jurus Tanpa Bentuk"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel